Membela Alam Dari Egoisme Manusia

Keindahaan setangkai bunga akan lebih indah lagi jika kita melukisnya sendiri dalam bayangan/lamunan. Begitu juga kita akan lebih takut membayangkan setan jika kita benar-benar melihat sosoknya. Kenapa bisa demikian? Iya, bisa saja. Karena dalam dunia lamunan, dalam dunia bayangan, kita bisa bebas untuk MENDRAMATISIR, bebas memberikan bumbu-bumbu yang lebih indah/seram. Ketika kita membayangkan setan, maka kita akan membayangkan sepasang gigi taring, sepasang mata merah, memberikan wajah tak berbentuk dengan noda-noda darah, atau mungkin dengan sepasang tanduk dikepalanya. Semua itu mendramatisir. Karena belum tentu yang namanya setan berwujud demikian. Itu hanya kesan yang dibuat orang-orang perfilman. Bukan wujud yang sebenarnya.

Lantas kenapa jika kita membayangkan hutan yang dibabat habis, sungai yang dicemari atau lapisan ozon yang makin menipis, kita tidak setakut ketika kita membayangkan setan, genderuwo, kuntilanak dan sejenisnya?. Mungkin karena kita tidak peduli dengan eksistensi alam yang kian musnah. Atau mungkin juga sudah peduli. Tapi apalah artinya peduli tanpa adanya bukti?ya, kita memerlukan bukti-bukti bahwa kita memang peduli. Bukti itu bisa dimulai dari awal, yaitu sadar bahwa alam telah rusak, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, global warming(pemanasan global) dan lahirnya kolam lumpur Lapindo di Sidoarjo adalah beberapa contoh bukti bahwa lam kita telah rusak. Celakanya, kesadaran itu hanya dimiliki oleh orang-orang kecil macam kita, sehingga ketika alam dirusak oleh orang-orang mengatas namakan pembangunan, kita hanya bisa melihat tanpa bisa berbuat banyak.

Di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Jogjakarta dan semarang, sangat berpotensi kehilangan sebagian “vitamin kota”-nya. Seperti kita ketahui bahwa kota-kota tersebut merupakan kota-kota besar yang tak pernah dari polusi, asap pabrik dan ribuan gedung pencakar langit yang secara tidak langsung bisa mengancam lingkungan kita. Hal ini dikarenakan pertumbuhan penduduk dikota yang pesat beserta segala aktivitasnya, sehingga sangat berpengaruh terhadap peningkatan penggunaan lahan. Sementara ketersediaan lahan kota tidak bertambah. Kondisi ini sangat berdampak pada tingginya tingkat kepadatan penduduk kota serta terjadi kompetisi penggunaan lahan di kawasan kota. Melihat fenomena seperti ini, bagaimana dengan kondisi udara yang selama ini kita hirup?. Adakah ruang udara untuk menambah volumenya?. Bagi para pencinta lingkungan sejati, tentu tidak akan terima dengan kondisi seperti ini. Sebut saja klub tunas hujau, sebuah komunitas pecinta lingkungan yang ada di Surabaya. Mereka giat menyuarakan aspirasi dan inisiatifnya agar lingkungan di kota ini tetap hijau. Kegiatan seperti penanaman sejuta pohon, membersihkan sungai-sungai hinga proses mengemposan sampah sudah menjadi program rutin dari komunitas ini.

Namun kita tidak boleh hanya mengandalkan komunitas pecinta lingkungan untuk menghijaukan lingkungan. Tentu saja perlu turunya tangan langsung dari pemerintah kota setempat agar penghijauan dikota lebih merata. Salah satu alternatif yang sampai saat ini masih terus dikembangkan pemkot adalah dengan membangun taman kota. Sebagai contoh, di Surabaya sudah banyak ditemukan “ruang terbuka hijau” yang cukup memberi harapan keseimbangan lingkungan di kota. Sebut saja Taman Prestasi Ketabang Kali, Taman Ekspresi, Taman Bungkul, Taman Persahabatan, hingga Taman Flora atau yang biasa disebut Kebun bibit. Dari sekian banyak taman yang ada di kota Surabaya Taman Flora-lah yang sangat potensial. Taman Flora merupakan paru-paru sekaligus mini forest di kota Surabaya. Namun sayang, keberadaan taman-taman tersebut seringkali tidak mendapat perhatian khusus dari pemerintahan kota setempat, dan bahkan warga sekitarnya. Taman-taman tersebut sudah banyak yang beralih fungsi dan jauh dari perawatan. Beralih fungsinya taman-taman tersebut tak lepas dari praktek korupsi, kolusi dan ujung-ujungan untuk kepentingan pribadi. Bahkan ada juga “ruang terbuka hijau” yang “dipaksa” lenyap untuk kepentingan pelebaran jalan, pembangunan POM bensin, bisnis perkantoran atau pusat-pusat perbelanjaan. Dan yang parahnya lagi terdengar isu, Taman Flora yang dikenal sebagai paru-paru kota Surabaya akan di lenyapkan untuk dibangun sebagai pusat perbelanjaan. Apakah kita ingin meniru kota New York(USA), kota yang berhasil membangun ratusan gedung sehingga untuk melihat awan saja sulit?.

Ketika bencana tanah longsor dan banjir menewaskan puluhan warga, orang-orang baru sadar bahwa mereka telah kehilangan fungsi dari hutan. Tindakan penebangan hutan menjadikan penduduk yang sudah sengsara semakin menderita, karena bencana banjir dan tanah longsor yang meluluh lantakan perkampungan merekan. Fungsi ekonomi, ekologis dan sosial sumber daya hutan itu hancur sekaligus. Tidak ada hutan tidak ada masa depan.

Dari sekian banyak problematika lingkungan yang dipaparkan diatas, kita bisa tarik kesimpulan yang lebih fokus pada satu hal: lantas siapa yang bertanggung jawab atas semua ini?. Tanggung jawab pelestarian lingkungan, pemanfaatan sumber daya hutan(SDH) bukan berada dipundak pemerintah daerah(pemda), pemerintah kota(pemkot) dan jajarannya, maupun departemen kehutanan. Seluruh masyarakat sekitar juga berperan serta dalam tanggung jawab pelestarian lingkungan. Tidak hanya melihat dan pasrah dengan keadaan yang sudah ada, tapi juga harus ambil bagian dan berteriak dengan lantang:

“Oke, kami sepakat, setuju dan mendukung pembangunan, tapi kami tidak sepakat jika atas nama pembangunan lantas hutan dibabat habis, sungai dicemari dan perusakan alam lainya!!”

Semoga itu tidak hanya menjadi wacana tetapi menjadi bukti konkret.
PREV---------NEXT

0 komentar: